Minggu, 31 Januari 2016

Siti Manggopoh, Singa Betina dari Sumatra Barat

Siti Manggopoh, Singa Betina dari Sumatera Barat

Perempuan perkasa ini memimpin rakyat berjuang melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Ia berperang menentang penjajah Belanda dengan gagah berani.

Namanya memang tidak setenar R.A. Kartini dari Jepara Jawa Tengah, yang memperjuangkan nasib perempuan, atau Cut Nyak Din yang berani mempertaruhkan nyawa dalam c. Bahkan mungkin orang lebih mengenal Rochana Koeddoes, pejuang hak-hak perempuan di Padang. Namun kalau dilihat dari catatan perjalanan hidup  dan sepak terjang Siti Manggopoh tidak kalah dari ketiga pendekar tersebut.

Dalam kelemahlembutannya sebagai perempuan Minang, ia mampu menunjukkan peran perempuan di tengah dominasi laki-laki yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Ia siap mengorbankan nyawa dalam beberapa pertempuran melawan penjajah Belanda.

Teriakan takbir “Allahu Akbar” selalu berkumandang untuk mengobarkan semangat perjuangan pasukan yang dipimpinnya, yang semuanya laki-laki. Karena keperkasaannya itulah , masyarakat Minang Menggelarinya “Singa Betina Manggopoh”. Dialah satu-satunya “Singa Batina dari Minangkabau”, karena tak ada perempuan seberani dia dalam merintis kemerdekan di Sumatera Barat.

***

SITI Manggopoh, yang bernama asli cukup singkat, Siti, lahir di bulan Mei 1880 di Kenagarian  Manggopoh, Kecamatan Luhak Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Manggopoh merupakan kenagarian tertua di Agam, disamping tiga Nagari lainnya, Bawan, Tiku, dan Garagahan. Di sana sawah dan ladang terbentang subur menghijau, didukung 13 sungai besar dan kecil, salah satunya sungai Antokan.

Orang tuanya, Sutan Tariak dan Mak Kipap, sudah lama mendambakan seorang anak perempuan. Sebab lima anak mereka sebelumnya semuanya laki-laki. Sebagai seorang Minang yang menganut adat Materilinial, keberadaan perempuan sangatlah berarti, untuk meneruskan keturunan dan merupakan kebanggan keluarga. Sebelum kelahiran Siti, keduanya merasa miskin, sehingga ketika Siti lahir menjadi kebanggaan, ibarat mendapat pengisi rumah gadang, Rumah adat Minangkabau, yang sudah sekian lama kosong.

Tumbuh dalam lingkungan saudara yang semuanya laki-laki, Siti Kecil terbiasa ikut ke pasar, sawah, Surau bahkan ke gelanggang persilatan, yang tempo dulu hanya di ikuti oleh kaum laki-laki. Orang tua dan abang-abangnya mengajari dan mendidiknya menjadi perempuan pemberani.

Dalam bertemanpun Siti tumbuh di lingkungan laki-laki, meskipun dia juga punya teman perempuan. Namun dia lebih senang melewatkan waktu bermain dan berjalan-jalan dengan teman-teman laki-laki, malah bermain hingga jauh dari kampungnya. Teman akrabnya Dullah Sutan Marajo, Udin, dan Majo Ali.

Namun sebagaimana perempuan Minang lainnya, Siti juga belajar mengaji di Surau, Bapasambahan (belajar keterampilan perempuan), selain melengkapi diri dengan ilmu bela diri. Saat beranjak dewasa, diapun di tuntut orang tuanya untuk menikah. Tapi tentu tak mudah bagi Siti menerima lelaki begitu saja sebagai suaminya.

Ia menginginkan lelaki yang kriterianya sangat “Sempurna” di zaman itu, harus paham ilmu agama dan dapat menguasai ilmu beladiri. Apalagi, seiring waktu berjalan, kepribadian Siti yang terbentuk kukuh, pantang melihat kezaliman, baik terhadap perempuan dan bangsanya, maka ia menuntut lelaki yang akan menikahinya harus segaris dengan cita-cita perjuangannya. Sebab, kala itu Belanda mulai melirik Nagari Manggopoh

Untunglah, akhirnya lelaki yang sesuai dengan kriterianya ia dapatkan juga pada diri Rasyid Bagindo Magek. Mereka bertemu saat sama-sama melayat seorang penghulu nagari yang meninggal. Rasyid adalah pemuda asal kampung Masang, masih dalam Kabupaten Agam. Dia Bako, atau masih ada hubungan keluarga dengan ayah Siti. Dan ternyata lima tahun sebelumnya Rasyid adalah teman Siti berlatih silat, selain Dullah dan Majo Ali. Tapi setelah itu Rasyid sempat merantau kemudian kembali kekampung sebagai pemuda yang dihormati karena penguasaan terhadap ilmu agama dan silat.

Pada 1904, keduanya menikah, dan beberapa tahun kemudian dikaruniai dua orang anak: Muhammad Yaman, laki-laki, dan Dalima, Perempuan. Untuk menggairahkan kehidupan bernagari, mereka membuka Gelanggang silat, yang akhirnya melahirkan pesliat-pesilat tangguh.

Pada saat Belanda mulai merayapi kenagarian Manggopoh, Siti mulai tak senang. Apalagi Belanda datang dengan menarik Belasting atau pajak. Menurut Abel Tasman dan kawan-kawan dalam buku Siti Manggapoh , saat itu beban kerja Rodi sudah sangat memberatkan masyarakat Manggopoh, hingga Siti dan beberapa lelaki berkumpul secara sembunyi-sembunyi untuk mengatur strategi menghadapi Belanda. Diam-diam mereka juga terus menerus mengasah kemampuan bela diri.

Semua itu mereka bungkus dengan berpura-pura patuh kepada Kompeni Belanda, menerima blangko pembayaran belasting, tapi di belakang Belanda mereka merobek-robeknya. Repotnya Belanda belakang hari mengetahuinya juga, mereka lalu turun ke Manggopoh untuk menyelidiki sikap masyarakat yang sebenarnya. Mereka mendirikan pos di sebuah bukit sejauh dua kilometer dari pasar Manggopoh. Ketika masuk ke desa, beberapa serdadu Belanda bertindak sepwenang-wenang, bahkan ada diantaranya yang merendahkan martabat perempuan. Mereka juga tidak bisa menjaga adat sopan santun yang berlaku di kalangan masyarakat Manggopoh, seperti mandi bertelanjang bulat di Sungai.

Perilaku tak senonoh itu, tentu saja memicu kemarahan Siti. Ia bertekad untuk melawan Belanda sebagaimana kafir-kafir yang menebarkan noda dan aib di kampungnya. Penduduk Manggopoh yang fanatik sependapat, sehingga Siti seperti mendapat “Modal keyakinan” untuk berjihad fi Sabilillah melawan kafir Belanda.

Ia segera mengumpulkan teman-teman seperguruannya di persilatan, sementara suaminya menghubungi para guru silat dan orang-orang yang dituakan, seperti H. Abdul Gafar, gelar Rajo Sipatokan, dan H. Abdul manna, ulama yang banyak memiliki santri dan pengikut. Siti dan suaminya juga mempersiapkan senjata tajam, seperti Keris, dan golok yang disebut Rudus atau Ladiang.

Mula-mula Siti dan kawan-kawannya berusaha mengendus informasi mengenai rencana dan kekuatan Belanda. Bahkan ia sempat terjun langsung untuk memata-matai  pasukan Belanda. Sebagai perempuan yang berpengaruh karena kharismanya, dan dengan sinar mata yang tajam, serta senyum yang membungkus kemarahan, ia menjalin persahabatan dengan para prajurit bahkan petinggi Belanda di Manggopoh.

Daya pikatnya sebagai perempuan yang cantik di zamannya, membuat ia bebas dan leluasa keluar masuk pos Belanda dengan menyamar sebagai perempuan desa yang lugu. Setelah itu ia menggali dan menelaah informasi yang dibutuhkannya. Dengan demikian ia tahu apa rencana Belanda yang akan menangkap penduduk yang mengabaikan Belasting. Mereka yang tidak mau membayar pajak akan dipenjarakan atau dibunuh. Diantaranya Dullah, temannya.

“Kamu tahu Dullah?” Tanya komandan Belanda kepada Siti. “Dia miskin, tidak mungkin mampu membayar Belasting” sahut Siti sambil menahan kegeramannya. Si Komandan tak acuh, malah memperlihatkan senjata-senajata baru yang lumayan banyak dengan sikap bangga dan tanpa curiga. Karena itulah Siti tahu jumlah serdadu Belanda di Manggopoh sebanyak 55 orang.

Informasi penting itu segera disampaikan kepada teman-teman seperjuangannya, lalu setelah itu mengatur strategi perjuangan. Menurutnya penyerangan ini harus dilakukan secara terorganisasi dengan kekuatan yang sudah pasti. Ia akhirnya menunjuk sebuah masjid di kampung parit, beberapa ratus meter dari markas Belanda.

Untuk mempersiapkan penyerangan, ia mengumpulkan para tokoh adat dan cerdik pandai untuk bermusyawarah, dipimpin oleh Pakcik Tuanku Padang, ulama asal Padang yang dianggap sebgai Urang Sumando (sbuah kekerabatan) oleh masyarakat Manggopoh. Hasil musyawarah itu disepakati mengajak masyarakat Kamang untuk bergabung. Maka ditunjuklah Majo Ali untuk menemui Ninik Mamak masyarakat Kamang. Mereka bertekad, “Setapak tak akan mundur, selangkah tak akan kembali.”

Selanjutnya dibentuk pasukan Inti yang terdiri dari 17 orang yang dipimpin langsung oleh Siti. Mereka itu, Antara lain, Siti, Rasyid, Tuaku Padang, Dullah, Majo Ali, Rahman Sidi Rajo, Tabuh Mangkuto Sutan, Dukap Marah Sulaiman, Muhammad bagindo Sutan, Tabad Sutan Saidi, Kalik Bagindo Marah, Unik, Sain Sidi Malin, Kana, Dullah Pakih, Nak Abbas Bagindo Bandaro, dan Sumun Sidi Marah.

Namun ternyata ada dua warga Manggopoh yang berkhianat, sehingga pada 14 Juni 1908 keberadaa pasukan 17 tercium oleh Belanda. Belakangan Belanda juga tahu, selama ini Siti ternyata memata-matai kekuatan Belanda. Hubungan erat antara Siti, Dullah dan Majo Ali (yang selama itu di incar Belanda) juga ketahuan. Dengan tuduhan menghasut warga Manggopoh agar tidak membayar pajak, mereka bertiga itupun ditangkap.

Mula-mula Belanda mengepung rumah Dullah, tapi sebelumnya ia sudah buru-buru menyingkir. Akhirnya karena kesal, serdadu Belanda itu menangkap Lipah, istri Dullah, berikut sebilah tombak dan keris. Lalu mendatangi rumah Majo Ali, namun orang yang di cari masih berada di Nagari Kamang, maka pasukan Belanda itupun menyandra Lilah, adik kandung perempuan Majo Ali. Ketika serdadu-serdadu itu menggerebek rumah Siti dan Rasyid, lagi-lagi mereka tidak menemukan siapapun, rumah Siti kosong dan terkunci rapat, namun sebenarnya Siti tengah mengambil air di Sumur belakang rumahnya, sementara Rasyid sedang mengantar Padi ke Kincir.

Segera Siti mengumpulkan teman-teman “Pasukan 17”  di Padang Mardani untuk merencanakan penyerbuan ke Markas Belanda. Padang Mardani adalah daerah yang angker, karena di kelilingi oleh pekuburan dan pepohonan besar yang lebat, sementara bila malam tiba berkabut tebal. Demi merahasiakan tempat berkumpul itu, pasukan 17 membuat kawasan itu semakin seram. Jika pasukan Belanda lewat, dimalam hari beberapa pasukan Siti bergelantungan di pohon berselimutkan kain putih mirip hantu. Tak jarang para serdadu Belanda itu lari tunggang langgang.

***

SUATU hari Siti mendengar keluarganya akan ditangkap. Ia segera mengungsikan mereka, orang tua dan dua orang anak Siti di sebuah pondok di Padang mardani. Siti sendiri bersama suaminya di pondok lain, jauh masuk di dalam hutan Padang Mardani. Ketika mereka mengungsi itulah, pada 15 Juni 1908 warga Kamang melancarkan serangan dahsyat terhadap pasukan Belanda. Dalam peperangan yang disebut sebagai perang Basosoh ini, majo Ali tampil gagah berani dengan keris di tangan. Di belakang hari ia digelari “Putra Manggopoh Aceh Pidie”  karena keberaniannya menyerupai perlawanan pejuang Aceh melawan si kafir Belanda.

Keesokan harinya, sore hari, Rasyid dan Majo Ali yang ikut dalam perang Kamang kembali ke Manggopoh untuk mengumpulkan pasukan 17. mereka menyerukan agar warga Manggopoh juga segera mengangkat senjata,”mengapa kalian semua diam? Kalau diantara kalian ada yang takut mati, sebaiknya pulang saja menanak nasi, dan biarkan saja saya berdua dengan Majo Ali menyerang kafir Belanda,” seru Siti.

Suara lantang satu-satunya perempuan dalam anggota pasukan 17 itu menyinggung semua perasaan laki-laki yang hadir. Kontan satu persatu mereka mengacungkan tangan, siap berjuang. “Allahu Akbar,”  teriak mereka bersama-sama. Selanjutnya mereka mengucapkan ikrar, “Allahu Akbar, setapak pun tak akan mundur, Esa hilang, duo terbilang, biar mati berkalang tanah daripado hidup terjajah.”

Pasukan itu lalu dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Siti, Rasyid, Majo Ali, dan Dullah, tugasnya masuk ke dalam markas Belanda. Kelompok kedua, berjumlah 10 orang, bertugas menjaga semua jendela dan pintu markas agar tidak sampai ada serdadu Belanda yang lolos.

Usai berdzikir, Rahman Aidi Rajo, salah seorang anggota pasukan 17, menguji tekad kawan-kawannya. Diambilnya sepotong kayu, lalu ditancapkan ke tanah, dan setiap anggota pasukan disuruh mencabutnya. Siapa yang berhasil mencabut, tidak diperbolehkan ikut berperang, karena dianggap masih ragu, dan ternyata tak seorangpun yang berhasil mencabutnya.

Bukan tidak bisa, melainkan tidak mau mengerahkan tenaga untuk mencabutnya. Berarti semua bertekad untuk berperang dengan sepenuh hati, dan menurut firasat Sidi Rajo, insya’allah tidak akan ada yang gugur. Usai salat Isya’ berjemaah, sebagai komandan pasukan, Siti menegaskan, “kalau nanti berpaling, saudara-saudara dianggap keluar dari Islam, dan saya akan tetap terus maju, meskipun seorang diri.”

Kira-kira pukul 20.30, pasukan Siti sampai di kampung Parit, tempat strategis untuk mengatur siasat dan berlindung. Seorang diantara mereka diutus untuk mengamati situasi markas Belanda. Tak beberapa lama, utusan itu kembali dengan mengatakan bahwa pasukan Belanda telah tidur. Siti dan pasukannya berangkat mendekati markas Belanda.

Tepat pukul 22.00, mereka mengepung markas Belanda, namun baru dua jam kemudian mereka mendekat, diawali oleh kelompok pertama, Siti dan Majo Ali menyelinap ke dalam markas, disusul Rasyid dan Dullah. Kelmpok kedua, tinggal di luar, mengamati jendedla dan pintu agar tidak ada serdadu Belanda yang lolos. Majo Ali segera memadamkan semua lampu. Ketika Majo Ali sedang membuka pintu kamar Komandan pasukan Belanda dan hendak mematikan lampu, sang komandan terbangun dan langsung menyerang. Majo Ali tak sempat mengelak, lehernya tercekik, melihat itu, Siti segera menyerang si Komandan, dia memukul punggung si Komandan dengan ujung Rudusnya, dan Majo Ali pun terselamatkan, namun Siti terdesak, seketika Rudusnya menyabet lampu hingga ruangan menjadi gelap. Siti langsung menusuk perut si Komandan, maka Belanda kafir iktupun tewas seketika.

Di tengah pekik takbir bersahutan, satu persatu serdadu Belanda berjatuhan, hingga tiba-tiba suasana menjadi hening. Pasukan 17 mengira pasukan Belanda yang berjumlah 55 orang sudah mati semua. Maka pasukan juhad itupun kembali pulang. Mendadak terdengar rentetan tembakan. Pasukan Siti berlarian menyelamatkan diri, namun malang bagi Siti, dia tertembak di punggung kanan atas. Sementara suaminya, Rasyid tertembak di selangkangan. Siti menemui Rasyid. Ternyata masih ada dua serdadu Belanda yang masih hidup. Keesokan harinya, kedua serdadu itu melaporkan penyerangan tersebut ke markas Belanda di Lubuk Basung. Belanda segera mengirim bala bantuan dari Pariaman dan Bukit tinggi untuk mengamankan Manggopoh. Sejak itulah suasana di Manggopoh mencekam.

Para pemuka masyarakat, ninik mamak Manggopoh, ditangkap dan dipenjarakan di Lubuk Basung. Sementara warga Manggopoh mengurung diri di rumah atau mengungsi ke hutan. Manggopoh pun di jadikan daerah tertutup. Penduduk dilarang keluar masuk Manggopoh. Siapapun yang mencurigakan akan ditangkap, yang melawan, langsung tembak ditempat.

Akan halnya Siti dan Rasyid, yang tertembak, mereka pulang berpisah jalan. Sampai di pondokan orang tua dan anak-anaknya, Siti langsung menggendong Dalima, anaknya yang masih berusia dua tahun, sementara tangan kirinya membelai kepala Tamam yang duduk disampingnya. Darah yang terus mengucur dari luka di punggungnya tak ia perdulikan. Tak berapa lama, muncul seorang Nelayan bernama Saibun, memberi tahu bahwa Rasyid bersembunyi diseberang sungai Antokan.

Ia menawarkan diri mengantarkan Siti menemui Rasyid Siti pun berangkat menemui Rasyid dengan menggendong Dalima. Setelah menyeberangi sungai Antokan dengan Perahu Saibun, Siti Melihat NinoRasyid melambaikan tangan dari sebuah pondok kecil nun dikejauhan. Dengan susah payah Rasyid lari mendekat, namun karena banyak mengeluarkan darah, ia roboh, tepat saat berada dihadapan Siti.

Siti segera merawat luka suaminya di pondok kecil itu, tak berapa lama Rasyid siuman. Mereka menetap di pondok Saibun selama tiga hari, lalu pulang melewati hutan belukar. Mereka berjalan di siang hari, malam hari beristirahat, tidur di bawah pohon besar. Sampailah mereka di sebuah ladang milik seorang lelaki tua, dan menginap semalam. Dari petani tua itu mereka tahu, keadaan di Manggopoh semakin buruk.
Belanda telah mengumumkan akan memberi hadiah besar kepada siapapun yang berhasil memberi tahu tempat persembunyian Siti dan Rasyid.

Sementara itu tuanku padang, yang tidak ikut dalam penyerangan, karena tengah berada di Padang, merasa geram. Sehari setelah penyerangan yang dilakukan oleh pasukan 17, pada pukul 20.00 ia menyerang markas Belanda dibantu Unik dan Kana. Tapi mereka bertiga gugur. Dan segera setelah itu, Nagari Manggopoh dibumihanguskan oleh Belanda.

Adapun Majo Ali dan Dullah, yang bersembunyi di hutan, melarikan diri, sebab dikejar-kejar oleh pasukan Kavaleri Belanda. Karena kelaparan dan kelelahan, mereka tak mampu lagi berlari. Akhirnya Belanda menemukan mereka terkapar tak berdaya. Mereka gugur ditembak musuh dari jarak dekat.

Setelah 17 hari, Siti dan Rasyid dalam pelarian, sementara situasi di Manggopoh semakin tak menentu, tak tega mendengar keadaan itu, mereka sepakat menyerahkan diri. Mereka tak ingin rakyat lebih sengsara gara-gara Belanda ingin menangkap mereka. Dengan menyerahkan diri, mereka berharap Belanda tak akan lagi menekan dan menyengsarakan rakyat. Mereka lalu menemui wali nagari Bawan untuk menyerahkan diri. Disepanjang jalan, mereka saksikan warga Bawan menutup rapat pintu rumah mereka karena ketakutan. Mereka bertemu Djunis, warga Bawan, yang ternyata pernah belajar ilmu silat kepada Rasyid di Masang. Maka mereka tinggal sehari di rumah Djunis, baru pada keesokan harinya ke kantor wali nagari Bawan.

Ternyata tentara Belanda sudah menunggu di sana. Ketika mereka hendak diborgol, wali nagari mencegah, Jangan mereka diborgol atau dilukai, sebab hal itu dapat memicu kemarahan warga Manggopoh dan sekitarnya, kata wali nagari Bawan. Pada pukul 12.00 mereka bersama Dalima dalam gendongan Siti, diangkut ke Lubuk Basung dengan pengawalan ketat pasukan Belanda. Ternyata orang tua dan anak sulung mereka, Yaman, sudah lebih dulu berada di sana.

Meski sudah menyerah, Siti masih saja menunjukkan keperkasaannya sebagai pahlawan. Menjawab introgasi petugas klonial Belanda, dengan lantang ia menyatakan tidak takut dihukum gantung, :Saya menyerang markas dan membunuh serdadu Belanda, karena Belanda telah melanggar adat dan agama warga Manggopoh,” katanya. “Saya peringatkan pula agar serdadu-serdadu Belanda tidak lagi merendahkan martabat perempuan Minang yang sangat ditinggikan di masyarakatnya,” menyaksikan keberanian perempuan itu, introgator kolonial itu geleng-geleng kepala.

Akhirnya untuk sementara mereka ditahan di Lubuk Basung. Setelah mendekam di tahanan selama 14 bulan, mereka dipindahkan ke penjara Pariaman, dan 18 bulan kemudian mereka dipindahkan lagi ke penjara Padang. Setelah 12 bulan di penjara di Padang, Rasyid dibuang ke Manado, Siti yang juga minta dibuang bersama suaminya ke Manado, malah dibebaskan dengan alasan punya anak kecil. Sejak saat itulah tak terdengar lagi genderang perang di Manggopoh. Siti tinggal di rumah mengasuh anaknya, Dalima, yang tak lama kemudian meninggal.

***

PADA 1960, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jenderal Nasution menyampaikan penghargaan kepada Siti, bertempat di balai nagari. Nasution mengalungkan penghargaan Negara dan rakyat atas keperkasaan Singa Betina dari Sumatera Barat itu. Sang Jenderal bahkan sempat membopong dan mencium wajah tua Siti, yang di hari-hari tuanya sering dipanggil Mande (Ibu) Siti.

Ketika usianya mencapai 78 tahun, tubuhnya semakin lemah, sementara matanya mulai rabun. Namun akhirnya pada tahun 1964 harapan masyarakt Manggopoh terwujud juga. Pemerintah RI menggelari Siti sebagai pahlawan perintis kemerdekaan RI. Dan setahun kemudian, tepatnya 22 Agustus 1965, sang pahlawan pun wafat dalam usia 85 tahun di rumah salah seorang cucunya di kampung Gasak, Kabupaten Agam. Almarhumah dimakamkan di taman makam pahlawan Padang.

Riwayat perjuangan Singa Betina yang gagah berani itu tersimpan di museum Adityawarman dan Gedung Wanita Rochana Koeddoes, Padang. Siti telah berjuang, Siti telah tiada, tapi sosok kepahlawanan dan perjuangannya tetap dikenang sepanjang masa.